Kita tahu antibiotik merupakan obat mujarab untuk menghilangkan rasa sakit. Tapi tidak semua orang tahu bahwa antibiotik tidak bisa digunakan untuk mengobati semua penyakit alias tidak boleh dikonsumsi sembarangan. Salah-salah bisa berakibat fatal atau sampai kepada alergi terhadap antibiotik.
Sayangnya, masyarakat justru mengindahkan penggunaan bahwa antibiotik tidak boleh digunakan secara sembarangan. Ketika demam dan flu menyerang, obat antibiotik selalu menjadi rujukan. Bahkan luka terjatuhpun tidak lengkap obat jika tanpa antibiotik.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes menjelaskan, bahan antibiotik pertama ditemukan Alexander Fleming pada 1928. Kemudian, pada 1940-an antibiotik mulai digunakan secara luas. Waktu itu, para ilmuwan dunia memprediksi, dengan ditemukannya antibiotik, pada 1960-an dunia diprediksi bersih dari penyakit infeksi.
Namun, bukannya penyakit infeksi teratasi, justru jenis bakteri baru muncul akibat resistensi terhadap penggunaan antibiotik. Bahkan, pada 1990, kata Fachmi, pernah terjadi post antibiotika era. "Suatu keadaan yang antibiotik tidak berfungsi lagi. "Waktu itu, di antara 20 jenis antibiotik yang ada, hanya satu yang bisa mengobati penyakit infeksi,"jelasnya.
Pada 2001, World Health Organization (WHO) menyampaikan keprihatinan yang tinggi terhadap perkembangan bakteri resisten. WHO pun menyatakan global alert atau perang melawan bakteri resisten.
Fachmi juga mengungkapkan, penelitian di dua rumah sakit besar di Jawa Timur dan Jawa Tengah pada 2001 menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik secara tidak bijak mencapai 80 persen. Kasus di RSU dr Soetomo, lanjut Kuntaman, angka resisten terhadap antibiotik lini pertama (penyakit infeksi ringan) bisa mencapai 90 persen dan lini kedua (infeksi sedang) mendekati 50 persen. Dalam disertasinya yang dirilis beberapa waktu lalu, Kuntaman juga menyebutkan, angka bakteri penghasil extended spectrum beta lactamase (ESBL, jenis bakteri yang sulit diobati) mencapai 29 hingga 36 persen. "Bandingkan dengan Belanda yang angkanya kurang dari satu persen," sebut pria yang bekerja di laboratorium mikrobiologi RSU dr Soetomo itu.
Karena itu, bila antibiotik tidak digunakan secara tepat, post antibiotika era diprediksi bisa terjadi pada masa depan. "Bayangkan saja, bila tidak ada satu pun obat yang mampu mengatasi penyakit infeksi," ujarnya.
Menurut Fachmi, tingginya penggunaan antibiotik di rumah sakit akan meningkatkan angka resistensi bakteri di tempat itu. "Yang pada akhirnya menyulitkan terapi," tegasnya. Bahkan, bakteri lebih mudah mutasi, yang berarti lebih cepat resisten terhadap berbagai antibiotik.
Prof dr R Bambang Wirjatmadi MS MCN PhD SpGK, pengajar gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unair, menjelaskan, antibiotik adalah obat yang dapat digunakan untuk membunuh kuman, virus, cacing, protozoa, dan jamur. "Biasanya, jika mengalami sakit dan disebabkan beberapa hal tersebut, obatnya antibiotik," ujar Bambang.
Tidak hanya itu. Antibiotik dibutuhkan saat seseorang sakit disertai demam. Jika sakitnya tidak disertai demam, belum tentu mereka membutuhkan antibiotik. Agar tidak sembarangan dalam penggunaannya, sebaiknya masyarakat mengetahui jenis antibiotik. Di antaranya, tetracyclin yang digunakan untuk infeksi, sakit gigi, dan luka. Jenis chloramphenicol digunakan untuk penyakit tifus. Jenis griseofulfin digunakan untuk membunuh jamur serta combantrin untuk membunuh cacing.
Ada juga narrow spectrum,yang berguna untuk membunuh jenis bakteri secara spesifik. Antibiotik yang tergolong narrow spectrum adalah ampicillin dan amoxycilin. Jenis kedua ialah broad spectrum untuk membunuh semua jenis bakteri di dalam tubuh. "Dianjurkan untuk menghindari mengonsumsi antibiotik jenis ini," jelasnya.
Sebab, jenis antibiotik itu juga membunuh bakteri lainnya yang sangat berguna untuk tubuh. Antibiotik yang termasuk kategori itu adalah cephalosporin. Penyakit yang disebabkan virus tidak dapat diberikan antibiotik. Misalnya, sakit flu atau pilek. Sebab, antibiotik tidak dapat membunuh virus karena virus dapat mati sendiri, asal daya tahan tubuh penderita meningkat atau membaik. Meski begitu, dalam perkembangannya, saat ini ada antibiotik yang dikembangkan untuk membunuh virus.
Namun itu justru akan membahayakan. Penggunaan antibiotik tidak pada tempatnya dan berlebihan dapat membahayakan kesehatan. Misalnya, mengakibatkan gangguan saluran pencernaan (diare, mual, muntah). Khawatir masyarakat awam yang tidak paham, mempergunakan dosis antibiotik ini untuk segala jenis penyakit.
Penderita bisa mengalami reaksi alergi. Mulai yang ringan seperti ruam dan gatal hingga berat seperti pembengkakan bibir, kelopak mata, sampai gangguan napas. Sebab, bisa jadi penderita alergi dengan antibiotik tersebut.
Efek yang terjadi bisa ringan hingga berat. Pasien bisa mengalami anaphylatic shock atau shock karena penggunaan antibiotik tersebut. Lebih berbahaya lagi, obat itu juga bisa mengakibatkan kelainan hati. Seperti diketahui, antibiotik memiliki bahan dasar kimia. Selain berfungsi membunuh kuman, bahan kimia tersebut harus dinetralkan tubuh supaya aman. Caranya adalah dengan memecah bahan kimia itu.
Karena itu, masyarakat luas perlu memahami fungsi dan kemampuan dari obat antibiotik. Baik waktu pemakaian maupun dosis. Dengan demikian, pemakaian bisa dilakukan secara tepat dan rasional.
Dalam kasus ini yang paling memahami adalah kalangan medis. "Termasuk, upaya pemerintah dalam melakukan pengawasan di lapangan supaya antibiotik tidak beredar secara bebas," kata Fachmi. Karena sebagai regulator, posisinya bisa mencegah penjualan antibiotika secara bebas di pasar.